Sabtu, 13 Februari 2010

Kultur Mikroalga

RESUME LAPORAN

Kultur mikroalga (Tetraselmis chuii.) dengan perlakuan salinitas ini bertujuan untuk mengetahui cara-cara pengkulturan fitoplankton Tetraselmis chuii serta untuk mengetahui dan mengamati pertumbuhan Tetraselmis chuii pada salinitas berbeda. Alat yang digunakan dalam kultur mikroalga ini yaitu botol kaca sebagai wadah kultur, spuit 1 ml, aerator, pipet tetes, mikroskop, haemocytometer, hand counter, thermometer, pH meter, botol bekas film, alat sentrifuge, tabung reaksi, oven/freezer, timbangan digital, tissue, kertas label, dan alat tulis, sedangkan bahan yang diperlukan yaitu sampel Tetraselmis chuii, 1 liter air laut steril (10 ppt, 20 ppt, 30 ppt), medium F/2 (NaNO3, NaH2PO4.H2O, tracemeter, dan vitamin @ 1 ml), formalin, larutan 4 N NaOH, dan larutan asam sitrat 10 %.

Kultur mikroalga ini terdiri dari 3 perlakuan dengan masing-masing 2 ulangan. Perlakuan yang diberikan yaitu kisaran salinitas yang berbeda untuk tiap botol, perlakuan pertama yaitu salinitas 10 ppt, perlakuan kedua yaitu salinitas 20 ppt dan perlakuan ketiga yaitu salinitas 30 ppt. Pengamatan dilakukan setiap hari sekali selama 7 hari, yang meliputi pengamatan suhu ruangan, pH media kultur, dan kepadatan Tetraselmis chuii. Media yang digunakan yaitu air laut steril yang sudah diperkaya dengan berbagai bahan campuran yaitu NaNO3, NH2PO4.H2O, trace element, dan vitamin, masing-masing 1 ml. Tetraselmis awal yang ditebar yaitu kepadatan 10.000 sel/ml.

Setelah 7 hari, dihitung kecepatan pertumbuhan dan waktu generasinya serta ditentukan pada waktu kapan Tetraselmis ini mengalami 5 fase pertumbuhan yang meliputi fase lag, fase eksponensial, fase penurunan kecepatan pertumbuhan, fase stasioner, dan fase kematian. Kecepatan pertumbuhan (µ) adalah pertambahan sel dalam waktu tertentu. Untuk menghitung kecepatan pertumbuhan ini digunakan rumus dimana ln b adalah ln kepadatan akhir dan ln a adalah ln kepadatan awal, sedangkan waktu generasi (G) adalah waktu yang diperlukan suatu mikroalga untuk membelah sel dari satu sel menjadi beberapa sel dalam pertumbuhannya. Pada penghitungan waktu generasi ini digunakan rumus , angka 2 disini menunjukkan pembelahan Tetraselmis sebanyak 2 kali.

Berdasarkan hasil pengamatan, pada perlakuan salinitas 10 ppt, kisaran suhunya 24-27°C, dengan pH media antara 6-8. Menurut Fabregas et al, (1984), suhu optimal bagi Tetraselmis berkisar antara 23-25ºC dan Tetraselmis optimal tumbuh pada pH 7-8, hal ini menunjukkan bahwa kodisi media sudah optimum. Salinitas merupakan salah satu sifat kimia air yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan organisme air. Pada perlakuan ini diberikan nilai salinitas 10 ppt, padahal menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), Tetraselmis mempunyai toleransi salinitas 15-36 ppt. Ditambahkan pula oleh Fabregas et al (1984) bahwa Tetraselmis dapat tumbuh dengan kondisi salinitas optimal antara 25-35 ppt. Hal ini menunjukkan bahwa media yang digunakan bagi Tetraselmis pada perlakuan pertama ini tidak optimum.

Kecepatan tumbuh pada pengamatan Tetraselmis dengan perlakuan salinitas 10 ppt yaitu sebesar 0.335 sel/ml/hari untuk ulangan 1 dan 0.794 sel/ml/hari untuk ulangan 2. Hal ini menunjukkan pertambahan sel Tetraselmis lebih cepat pada ulangan kedua daripada ulangan pertama., dan juga dibuktikan oleh tingginya kepadatan Tetraselmis pada hari ke tujuh di botol ulangan kedua daripada ulangan pertama. Pada pengamatan kali ini, belum nampak fase kematian/penurunan jumlah populasi Tetraselmis. Fase logaritmik/eksponensial terjadi pada hari ke empat. Waktu generasi untuk ulangan pertama sebesar 2,069 dan ulangan kedua sebesar 0,872. Semakin sedikit waktu yang dibutuhkan Tetraselmis untuk membelah, maka semakin cepat laju pertumbuhannya.

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terhadap kepadatan kultur Tetraselmis dengan salinitas 20 ppt menggunakan dua ulangan menunjukkan bahwa pertumbuhan harian selama tujuh hari populasi terus meningkat. Tingkat kepadatan tertinggi pada hari ke-7, yaitu rata-rata 325,25 x 104 sel/ml. Fase logaritmik/eksponensial terjadi pada hari ketiga. Namun pada kultur kali ini belum nampak fase kematian/penurunan populasi. Kisaran suhu dan pH masih dalam batas kisaran normal. Salinitas pada kultur Tetraselmis ini adalah 20 ppt. Tetraselmis tumbuh dengan salinitas optimal antara 25-35 ppt (Fabregas et al, 1984). Akan tetapi menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), Tetraselmis mempunyai toleransi salinitas yang cukup lebar yaitu 15-36 ppt. Hal ini berarti bahwa Tetraselmis masih dapat tumbuh dengan baik. Kecepatan tumbuh tertinggi yaitu pada ulangan kedua (0,9030 sel/ml/hari), dan waktu yang diperlukan Tetraselmis ini untuk membelah sel dari satu sel menjadi beberapa sel dalam pertumbuhannya (waktu generasi) yaitu 0,9713 untuk ulangan pertama dan 0,7675 untuk ulangan kedua. Semakin sedikit waktu yang digunakan maka semakin cepat pula dia tumbuh.

Pada perlakuan ketiga yaitu salinitas 30 ppt, rata-rata peningkatan tertinggi kepadatan Tetraselmis dimulai pada hari ketiga, yang juga menunjukkan fase logaritmik/eksponensial dari Tetraselmis dengan salinitas 30 ppt ini, yaitu sebesar 108.750 sel/ml. Pada ulangan pertama, terjadi peningkatan kepadatan Tetraselmis dari hari pertama sampai hari kelima pengamatan. Sedangkan pada hari ke enam, mulai terjadi fase kematian atau penurunan jumlah populasi dari Tetraselmis. Hal ini dikarenakan tidak ada lagi penambahan nutrisi baru dari luar pada media pertumbuhan tersebut. Pada ulangan kedua, dari hari pertama sampai hari ke tujuh pengamatan, terjadi peningkatan populasi, sedangkan pada hari ke enam tidak terjadi penurunan jumlah populasi layaknya pada ulangan pertama, hal ini disebabkan karena adanya tambahan media (air laut) sehingga ruang untuk tumbuhnya Tetraselmis bertambah. Berbeda halnya dengan botol ulangan pertama yang tidak mendapat tambahan media sehingga ruang untuk tumbuh Tetraselmis tidak bertambah dan malah makin sempit dan terbatas.

Pertambahan sel Tetraselmis pada perlakuan ini yaitu 1,144 sel/ml/hari untuk ulangan pertama dan 0,636 sel/ml/hari untuk ulangan kedua. Semakin cepat dia tumbuh, maka ruang media yang digunakan untuk kultur semakin sempit, dan semakin tinggi kompetisi yang terjadi untuk mempertahankan hidup antar Tetraselmis, sehingga semakin cepat pula Tetraselmis ini mengalami fase kematian atau penurunan jumlah populasi. Akan tetapi pada ulangan kedua, kecepatan tumbuh rendah dan jika dibandingkan dengan ulangan pertama, ruang media belum membatasi pertumbuhan Tetraselmis. Waktu yang digunakan Tetraselmis untuk membelah (waktu generasi) yaitu 0,605 untuk ulangan pertama dan 1,089 untuk ulangan kedua. Semakin pendek waktu yang digunakan untuk membelah, maka semakin cepat pula dia tumbuh.

Pada perlakuan ketiga ini, kisaran pH dan suhu masih dalam batas normal. Pada perlakuan ini diberikan nilai salinitas 30 ppt. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), Tetraselmis mempunyai toleransi salinitas 15-36 ppt. Ditambahkan pula oleh Fabregas et al (1984) bahwa Tetraselmis dapat tumbuh dengan kondisi salinitas optimal antara 25-35 ppt. Hal ini menunjukkan bahwa media yang digunakan pada perlakuan ketiga ini sudah optimum bagi pertumbuhan Tetraselmis.

Setelah dilakukan pengamatan diantara ketiga perlakuan, laju pertumbuhan populasi dan ukuran Tetraselmis mencapai maksimal (fase logaritmik/eksponensial) dimulai pada hari ketiga untuk perlakuan salinitas 20 ppt dan 30 ppt, sedangkan pada perlakuan salinitas 10 ppt Tetraselmis mengalami pertumbuhan maksimal dimulai pada hari keempat. Hal ini menunjukkan bahwa media yang digunakan untuk tumbuh secara optimal adalah media dengan salinitas 20 ppt dan 30 ppt. Pernyataan ini diperkuat oleh Fabregas et al (1984) yang menyatakan bahwa Tetraselmis dapat tumbuh dengan kondisi salinitas optimal antara 25-35 ppt. Ditambahkan pula oleh Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), Tetraselmis mempunyai toleransi salinitas yang cukup lebar yaitu 15-36 ppt. Artinya, dengan kondisi lingkungan tumbuh yang optimal, Tetraselmis dapat mengalami pertumbuhan dengan cepat dan maksimal.

Optimumnya perlakuan kedua dan ketiga bagi Tetraselmis juga ditunjukkan oleh tingginya kecepatan tumbuhnya. Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata kecepatan tumbuh tertinggi yaitu pada salinitas 30 ppt sebesar 0,89 sel/ml/hari, kemudian perlakuan salinitas 20 ppt sebesar 0,8083 sel/ml/hari dan yang paling rendah yaitu pada perlakuan salinitas 10 ppt yaitu 0,5645 sel/ml/hari. Akan tetapi, setelah diuji menggunakan tabel anova, ternyata pengaruh salinitas terhadap kecepatan pertumbuhan adalah tidak beda nyata, artinya pemberian perlakuan salinitas berbeda tidak memberikan pengaruh yang signifikan bagi kecepatan pertumbuhan Tetraselmis yang dikultur. Hal ini menunjukkan bahwa dengan kisaran salinitas 10-30 ppt, Tetraselmis masih dapat tumbuh dengan baik.

Waktu yang digunakan untuk melakukan pembelahan sel pada perlakuan salinitas 30 ppt lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan salinitas 20 ppt dan 10 ppt. Rata-rata waktu generasi untuk salinitas 30 ppt adalah 0,847, rata-rata waktu generasi untuk salinitas 20 ppt yaitu 0,8694 dan rata-rata waktu generasi yang dibutuhkan pada salinitas 10 ppt adalah 1,4705. Semakin pendek waktu yang digunakan untuk mengalami pembelahan, maka semakin tinggi pula kecepatan tumbuhnya. Akan tetapi, setelah diuji menggunakan tabel anova, ternyata pengaruh salinitas terhadap waktu generasi Tetraselmis adalah tidak beda nyata, artinya pemberian perlakuan salinitas berbeda tidak memberikan pengaruh yang signifikan bagi waktu generasi Tetraselmis yang dikultur. Hal ini menunjukkan bahwa dengan kisaran salinitas 10-30 ppt, Tetraselmis masih dapat tumbuh dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Fabregas, Jaime., et al. 1984. Growth of Marine Microalga Tetraselmis svecica in Batch Culture with Different Salinities and Concentration. Publisher. B.V. Amsterdam.

Isnansetyo, A, Ir dan Kurniastuty, Ir,. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton & Zooplankton, Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius. Yogyakarta.

ISOLASI MIKROALGA

1. ALAT DAN BAHAN

A. ALAT

o Ember

o Plankton net

o Pinset

o Bunsen

o Pipet tetes

o Mikropipet

o Botol bekas film

o Glass object

o Mikroskop

o Tabung reaksi

o Alumunium foil

o Tissue

B. BAHAN

o Sampel mikroalga

o Medium

o Alkohol

2. CARA KERJA

a. Pembuatan mikropipet

1) Pipet tetes dipanaskan di atas bunsen

2) Ketika dirasa sudah agak lembek, tarik ujung pipet dengan pinset sampai ujung pipet mengecil (mikropipet)

b. Isolasi alga tunggal

1) Ambil sampel mikroalga dengan menggunakan plankton net, dimasukkan ke dalam botol bekas film

2) Siapkan glass object

3) Teteskan sampel mikroalga di tengah-tengah glass object

4) Teteskan pula medium di sekeliling sampel

5) Amati di bawah mikroskop

6) Sampel yang telah teramati dipindahkan pada salah satu medium yang ada di sekeliling sampel dengan menggunakan mikropipet

7) Amati lagi di bawah mikroskop, kemudian dipindahkan lagi ke medium yang lain. Hal ini dilakukan terus hingga diperoleh alga tunggal

8) Alga tunggal dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang berisi medium yang telah ditutup alumunium foil, kemudian diinkubasi.

Pengaruh Global Warming


Pemanasan global yang meningkatkan suhu bumi, termasuk menghangatkan perairan laut di seluruh dunia, dipastikan mengganggu ekosistem perairan. Dengan kata lain, produktivitas ekosistem laut pun ikut anjlok. Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida(N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Menurut laporan yang dirilis oleh Global Coral Reef Monitoring Network, emisi karbondioksida ini mengakibatkan hilangnya terumbu karang hampir 20%. Menurut saya, meningkatnya konsentrasi karbondioksida di atmosfer, dapat meningkatkan keasaman laut yang dapat mempengaruhi kehidupan terumbu karang dan biota laut lainnya. Jika kesaman laut meningkat, maka ketersediaan kalsium karbonat yang dibutuhkan oleh karang akan menurun sehingga berdampak pada kehidupan karang tersebut dimana tidak ada suplai kalsium lagi yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya.

Banyaknya konsentrasi karbondioksida di atmosfer, maka laut akan banyak menyerap karbon tersebut, kemudian laut akan menjadi bertambah asam, yang secara berkelanjutan akan sangat merusak terumbu karang dan biota laut serta kehidupan plankton dan alga. Jika kecenderungan emisi karbondioksida terus berlangsung dan tidak ada upaya untuk mengurangi, maka banyak terumbu karang yang mungkin akan hilang dalam waktu 20 – 40 tahun mendatang, dan ini menjadi suatu musibah bagi para pencari nafkah yang memanfaatkan terumbu karang sebagai objek penghasilan mereka. Menurut Carl Gustaf Lundin, pimpinan Program Kelautan Global di International Union for Conservation of Nature, jika tidak ada perubahan, kita akan menyaksikan berlipatnya karbondioksida di atmosfer dalam waktu kurang dari 50 tahun. Kenyataan saat ini, bahwa perubahan iklim seperti naiknya temperatur permukaan air laut dan meningkatnya keasaman laut merupakan ancaman utama bagi kehidupan terumbu karang dan kehidupan plankton.

Akibat perubahan iklim di perairan, fitoplankton diatom terancam punah. Sejak 1970-an populasi diatom terus berkurang. Jumlah diatom di laut lebih dari 80 persen dari seluruh populasi fitoplankton. Jika hal ini terjadi, maka kelangkaan Diatom di perairan otomatis akan mengancam populasi ikan laut. Menurut peneliti madya bidang dinamika laut (spesialis plankton dan produktivitas laut) Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), diatom sangat rentan terhadap perubahan suhu laut. Perubahan suhu laut akan mengganggu pertumbuhan dan produktivitas diatom.

Pada Januari 2007, konsentrasi karbondioksida telah mencapai 383 ppm (peningkatan 36 persen). Jika prediksi saat ini benar, pada tahun 2100, karbondioksida akan mencapai konsentrasi 540 hingga 970 ppm. Estimasi yang lebih tinggi malah memperkirakan bahwa konsentrasinya akan meningkat tiga kali lipat bila dibandingkan masa sebelum revolusi industri (UNEP/WMO, 2007). Sejalan dengan pernyataan tersebut, penelitian Hutchins dan Hare menyebutkan, perubahan iklim berdampak pada populasi fitoplankton, yang merupakan rantai pertama siklus produksi ikan di laut. Kesimpulan penelitian itu didasarkan atas simulasi suhu muka laut dan konsentrasi karbon dioksida pada tahun 2100. Sejumlah fitoplankton yang diambil dan diinkubasikan dikondisikan dengan simulasi tadi. Hasilnya, kondisi tahun 2100 hanya cocok bagi fitoplankton-fitoplankton lain di luar jenis diatom. Sebaliknya, diatom-diatom yang bertipe lebih besar tak tahan dan musnah. Menurut saya, kepunahan diatom berdampak langsung pada kepunahan biota-biota laut yang bergantung pada keberadaannya. Dengan kata lain, bisa dipastikan jumlah tangkapan nelayan pun menurun drastis karena populasi ikan menyusut drastis.

Mengingat pentingnya fitoplankton khususnya diatom yang sebagian besar merupakan populasi fitoplankton di perairan, sudah seharusnya kita berperilaku ramah lingkungan. Populasi diatom terjaga dan dunia terlindungi, Walaupun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi karbondioksida di atmosfer, tapi dari kacamata saya mengatakan bahwa aktivitas manusia yang melepaskan karbondioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya, sehingga perlu adanya perhatian lebih terhadap ancaman pemanasan global ini untuk menyelamatkan perikanan kita. Selain meminimalisasi emisi karbondioksida yang dihasilkan di atmosfer, perlu ada tidak lanjut dari kita semua untuk mengantisipasi dampak negatif dari perubahan iklim yang terjadi.

Sumber: www.kompas.com

Oreochromis niloticus

Klasifikasi:

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Pisces

Subclass : Aconthoterigii

Ordo : Percomorphi

Subordo : Percaidea

Family : Cichilidae

Genus : Oreochromis

Species : Oreochromis niloticus

Morfologi:

1. Badan memanjang, bentuk tubuh pipih, sisik besar dan kasar, kepala relatif kecil, garis linea lateralis terputus dan terbagi dua yaitu bagian atas dan bawah, memiliki 5 buah sirip dengan rumus D.XVI.12; C.V.1.5; P.12 dan A.III.9. Perbandingan antara panjang total dengan tinggi badan 3:1.

2. Sisik besar dan kasar berbentuk stenoid, mempunyai jumlah sisik pada gurat sisi 34 buah, terdapat 8 buah garis tegak pada kedua sisi tubuh.

3. Sirip punggung berwarna hitam, sirip dada menghitam. Pada sirip ekor terdapat 6 buah garis tegak, sedangkan pada sirip punggung 8 buah. Pinggir sirip punggung berwarna abu-abu atau hitam.

4. Mata besar dan menonjol dengan tepi berwarna putih

Ciri-ciri untuk membedakan induk jantan dan induk betina:

1. Betina

a. Terdapat 3 buah lubang pada urogenetial yaitu: dubur, lubang pengeluaran telur dan lubang urine.

b. Sisik lebih kecil, bentuk hidung agak lancip dan berwarna kuning jelas

c. Ujung sirip berwarna kemerah-merahan pucat tidak jelas.

d. Sirip punggung dan sirip ekor bergaris berlanjut dan melingkar

e. Warna perut lebih putih.

f. Warna dagu putih.

g. Jika perut distriping tidak mengeluarkan cairan.

2. Jantan

a. Pada alat urogenetial terdapat 2 buah lubang yaitu: anus dan lubang sperma merangkap lubang urine.

b. Sisik lebih besar, bentuk hidung dan rahang belakang melebar berwarna biru muda.

c. Ujung sirip berwarna kemerah-merahan terang dan jelas.

d. Sirip punggung dan sirip ekor merupakan garis putus-putus

e. Warna perut lebih gelap/kehitam-hitaman.

f. Warna dagu kehitam-hitaman dan kemerah-merahan.

g. Jika perut distriping mengeluarkan cairan.

Habitat:

1. Ikan nila bisa hidup di perairan air tawar hampir di seluruh Indonesia. Jenis ikan ini sebenarnya bukan satwa asli Indonesia. Habitat aslinya adalah Sungai Nil di Mesir. Ikan ini kemudian didatangkan oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 1969 dari Taiwan. Jenis ikan ini memiliki toleransi lingkungan yang cukup besar, sehingga pembudidayaannya sangat mudah.

2. Ikan nila hidup di habitat sungai, danau, waduk, rawa, sawah dan tambak

3. Ikan nila tumbuh normal pada suhu 14 – 38 °C

4. Secara alami dapat memijah pada suhu 22 – 37 °C

5. Suhu optimum untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan pada suhu 25 – 30 °C

6. Suhu rendah dan tinggi yang mematikan adalah 6 °C dan 42 °C

7. Nilai pH yang dapat ditolerir antara 5 – 11, namun kehidupan normal menghendaki pH 7 – 8

8. Banyak ditemukan di perairan tenang, dapat hidup pada salinitas 0 – 29 permil

9. Tanah yang baik untuk kolam pemeliharaan adalah jenis tanah liat/lempung, tidak berporos. Jenis tanah tersebut dapat menahan massa air yang besar dan tidak bocor sehingga dapat dibuat pematang/dinding kolam.

10. Kemiringan tanah yang baik untuk pembuatan kolam berkisar antara 3-5% untuk memudahkan pengairan kolam secara gravitasi.

11. Ikan nila cocok dipelihara di dataran rendah sampai agak tinggi (500 m dpl).

12. Kualitas air untuk pemeliharaan ikan nila harus bersih, tidak terlalu keruh dan tidak tercemar bahan-bahan kimia beracun, dan minyak/limbah pabrik. Kekeruhan air yang disebabkan oleh pelumpuran akan memperlambat pertumbuhan ikan.

13. Debit air untuk kolam air tenang 8-15 liter/detik/ha. Kondisi perairan tenang dan bersih, karena ikan nila tidak dapat berkembang biak dengan baik di air arus deras.

Feeding habit dan food habit:

1. Nila merah termasuk omnivor atau ikan pemakan segala, baik tumbuhan maupun hewan. Kebiasaan itu tergatung umurnya. Pada saat larva, setelah habis kuning telur, nila merah suka dengan phyto plankton. Besar sedikit atau saat benih sangat suka dengan zooplankton, seperti Rotifera sp, Impusoria sp, Daphnia sp, Moina sp and Cladocera sp. Setelah dewasa sangat suka dengan cacing, seperti cacing tanah, cacing darah dan tubifex.

2. Atas dasar kebiasaan tempat makan, ikan digolongkan ke dalam tiga golongan, yaitu ikan bottom feeder, middle feeder dan floating feeder. Bottom feeder adalah ikan pemakan dasar perairan, seperti ikan mas. Middle feeder adalah pemakan di tengah perairan. Floating feeder adalah pemakan di permukaan air. Nila merah bukan bottom feeder, tetapi floating feeder. Ikan ini akan bergerak cepat ketika diberi pakan tambahan. Meski begitu, terkadang nila merah juga bersifat bottom feeder, yaitu memakan pada dasar perairan, pematang dan pada benda lainnya. Tetapi tidak sampai mengaduk-ngaduk atau merusak pematang seperti ikan mas

3. Atas dasar cara makan, ikan dibagi ke dalam dua golongan, yaitu ikan yang aktif dan ikan yang pasif. Nila merah termasuk ikan yang aktif pada siang hari (diurnal). Ikan itu akan bergerak dengan cepat ketika diberi pakan tambahan. Penciumannya sangat tajam. Meski termasuk ikan yang aktif tetapi bila sudah kenyang akan menghindari pakan itu.

4. Induk ikan nila juga perlu pakan tambahan berupa pelet yang mengandung protein 30-40% dengan kandungan lemak tidak lebih dan 3%. Pembentukan telur pada ikan memerlukan bahan protein yang cukup di dalam pakannya. Perlu pula ditambahkan vitamin E dan C yang berasal dari taoge dan daun-daunan/sayuran yang diiris-iris. Boleh juga diberi makan tumbuhan air seperti ganggang (Hydrilla). Ikan nila yang berumur 1-3 bulan butuh nilai protein antara 35%-50% sedangkan ikan nila yang berumur 4 bulan keatas butuh nilai protein antara 25%-30%

Perkembangbiakan:

1. Ikan nila dapat memijah 6 – 7 kali dalam setahun

2. Frekuensi pemijahan terbanyak terjadi pada musim hujan

3. Seekor ikan nila betina dengan berat 600 gram menghasilkan larva sebanyak 1200 – 1500 ekor setiap pemijahan

4. Ikan nila jantan pada masa birahi kelihatan tegar dan berwarna cerah serta agresif mempertahankan teritorialnya

5. Ikan nila jantan membuat sarang di daerah terotirial, sarang tersebut berupa lekukan di dasarperairan berbentuk bulat dengan diameter sebanding dengan ukuran ikan jantan. Sarang tersebut berfungsi sebagai tempat pemijahan dan pembuahan telur

6. Setiap proses pemijahan berlangsung sangat cepat sekitar 50 – 60 detik, menghasilkan 20 – 40 telur yang telah dibuahi. Peristiwa ini berlangsung beberapa kali selama 20 – 60 menit dengan pasangan yang sama atau berbeda

7. Daur hidup ikan nila berlangsung selama 5 – 6 bulan

8. Telur mempunyai garis tengah sekitar 2,8 mm berwarna abu-abu sampai kuning, tidak lekat, tenggelam. Telur dierami dalam mulut dan menetas setelah 4 – 5 hari menghasilkan larva dengan panjang sekitar 4 – 5 mm

9. Larva diasuh dalam mulut induk betina sampai menjadi benih selama 11 hari sehingga mencapai ukuran 8 mm

10. Ikan nila mencapai dewasa pada umur 4 – 5 bulan dengan bobot sekitar 250 gram

11. Masa pemijahan yang produktif berumur 1,5 – 2 tahun dengan bobot di atas 500 gram

12. Memijah sepanjang tahun dan mulai memijah umur 6 – 8 bulan. Seekor induk betina ukuran 200 – 400 gram dapat menghasilkan anak 500 – 400 ekor

Cultured microalgae as aquaculture feeds

Cultured microalgae as aquaculture feeds

Eirik O. Duerr, Augustin Molnar, and Vernon Sato1

The Oceanic Institute, Makapuu Point, Waimanalo, HI 96795, USA

Received: 16 July 1996/Accepted: 7 August 1997

Ringkasan

Saat ini, budidaya perikanan khususnya dalam kegiatan pendederan dan pembesaran sangat mengandalkan mikroalga sebagai sumber pakan. Hal ini diperkuat oleh data hasil produksi perikanan tahun 1993 yang mencapai 14,5 juta metrik ton, sekitar 90% selama pembesarannya menggunakan fitoplankton sebagai sumber pakan. Kegiatan pembesaran larva ikan dan udang hampir 50%-nya sangat mengandalkan alga sebagai sumber pakan alami. Hal ini wajar karena ketika larva telah masuk fase kritis (kuning telur habis), dia sangat membutuhkan ganggang dan/atau zooplankton (yang sesuai dengan bukaan mulutnya) sebagai makanannya sampai dia bisa makan pakan jadi (pellet).

Berdasarkan data yang disajikan oleh FAO (1995) menyebutkan bahwa sebagian besar ikan, udang dan kerang-kerangan dalam siklus hidupnya sangat bergantung pada ketersediaan fitoplankton sebagai sumber pakan mereka. Ditambahkan pula oleh Liao et al. (1991) yang menyebutkan bahwa di Taiwan lebih dari 5 miliar kerang (Meretrix lusoria), udang 5.85 billion (Penaeus spp.), dan 152 juta larva ikan yang dihasilkan komersial pada tahun 1990 dengan bantuan ganggang dan pakan alami. Alga yang sering digunakan sebagai pakan alami bagi larva diantaranya Nannochloris oculata, Nannochloropsis oculata, Chlorella sp., Chlamydomonas sp., Tetraselmis tetrathele, dan T. chuii.

Diketahui produksi budidaya perikanan seluruh dunia mencapai 7,2% per tahun. Tingginya hasil produksi tersebut harus sejalan juga dengan tingginya produksi mikroalga. Mikroalga yang dikultur disesuaikan dengan ukuran larva atau bukaan mulutnya. Selain fitoplankton juga digunakan zooplankton sebagai sumber pakan bagi larva. kultur zooplankton ini dianggap lebih menguntungkan daripada kultur fitoplankton karena zooplankton lebih mudah diukur atau dihitung jumlahnya daripada fitoplankton, serta sebagian besar (mayoritas) larva ikan mengkonsumsi zooplankton dibandingkan mengkonsumsi fitoplankton, walaupun sebenarnya dalam kegiatan kultur zooplankton juga harus menyediakan fitoplankton sebagai makanan zooplankton itu sendiri.

Pemberian fitoplankton sebagai sumber pakan bagi larva dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung artinya fitoplankton tersebut langsung diberikan pada larva, sedangkan secara tidak langsung maksudnya fitoplankton tersebut diberikan terlebih dahulu pada zooplankton, kemudian zooplankton ini diberikan pada larva. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kandungan nutrisi yang terdapat dalam pakan sehingga meningkatkan pula kandungan gizi larva yang kita budidaya.

Saat ini pakan alami relatif menurun kuantitas dan kualitasnya. Masalah yang sekarang tengah dihadapi diantaranya adalah adanya kontaminasi bakteri, yang dapat mengganggu pertumbuhan alga dan dapat membahayakan larva target. Kultur alga heterotrof adalah salah satu opsi yang sedang dilakukan untuk meningkatkan produksi alga. Meskipun ini dapat meningkatkan produksi alga, tapi juga meningkatkan biaya produksi yang dibutuhkan (US $ 150 - $ 250/kg berat kering).

Selain adanya bakteri yang menjadi kontaminan, ada pula beberapa plankton yang dapat menghasilkan racun/toksik yang selanjutnya terakumulasi pada biota konsumer plankton tersebut sampai pada konsentrasi sangat tinggi, yang melebihi konsentrasi awal yang diproduk oleh plankton beracun (Wiadnyana, 1997). Hal ini perlu ditindak lanjuti berkaitan dengan tingginya produksi perikanan yang sangat mengandalkan plankton sebagai sumber pakannya agar produksi perikanan tidak mengalami penurunan.

Sumber:

FAO (1995) Aquaculture production statistics (1984–1993). FAO Fisheries Circular No. 815, Revision 7

Liao I-C, Su M-S, Su H-M (1991) An overview of live feeds production system design in Taiwan In: Fulks W, Main KL (eds). Rotifer and microalgae culture systems. The Oceanic Institute, Honolulu

Wiadnyana, N.N,. 1997. Toksisitas Pada Plankton dan Makanan Laut: Metode Analisis dengan HPLC. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.